Rahasia Koleksi Perpustakaan Kampung dan Ramainya Kegiatan Literasi

Rahasia kecil di belakang rak kayu

Aku selalu bilang, perpustakaan kampung kami itu kayak kotak makanan nenek—penuh kejutan. Dari luar terlihat sederhana: rumah kecil dengan cat yang mulai mengelupas, papan nama buatan sendiri, dan jendela yang sering kebuka karena angin. Tapi begitu masuk, bau kertas tua bercampur aroma kopi seduh bikin mata langsung melunak. Ada rak-rak kayu yang dibuat ulang dari peti buah, label-label kategori ditulis tangan dengan spidol tebal, dan entah kenapa selalu ada seekor kucing tidur di pojok paling lembut. Itu rahasianya: tempat itu terasa seperti rumah, bukan gedung resmi.

Apa saja yang tersembunyi di antara buku-buku?

Kalau ditanya koleksinya apa saja, aku akan jawab dengan setengah tertawa—semuanya dan sedikit kekacauan. Anak-anak suka menemukan buku bergambar tentang dinosaurus, sementara ibu-ibu sibuk meminjam buku resep dan buku bercocok tanam. Ada juga rak khusus karya penulis lokal, majalah lama, novel roman yang entah bagaimana selalu hilang lalu muncul lagi di bawah meja, dan komik bekas yang disisihkan untuk anak-anak. Yang lucu, pernah ada katalog benih tanaman yang terselip di antara novel detektif; itu membuat beberapa orang bertanya-tanya apakah si detektif juga menanam bayam di waktu luangnya.

Koleksi itu lahir dari donasi: sembilan dari sepuluh buku datang dengan cerita—buku bekas dari kota, majalah yang dibawa pulang setelah pesta, atau kumpulan cerita sumbangan alumni sekolah. Ada juga bahan belajar nonformal—manual pertanian organik, modul pengajaran numerasi, dan beberapa lembar foto hitam-putih dokumentasi kegiatan kampung yang disimpan seperti harta karun. Semua diatur sederhana, ada yang menggunakan kartu perpustakaan buatan sendiri (iya, masih manual), ada yang cukup dicatat di buku harian yang tebal dan penuh coretan.

Bagaimana kegiatan literasi menggetarkan kampung?

Kegiatan literasi di sini bukan wacana—itu pesta kecil yang rutin. Kami punya sesi membaca bersama setiap sore Jumat; anak-anak datang dengan ekspresi penuh harap, bercerita lebih banyak daripada biasanya, dan kadang menirukan suaraku saat membacakan dialog lucu. Lalu ada kelas menulis untuk remaja, yang awalnya hanya diikuti lima orang, sekarang hampir 20 — ada yang menulis cerpen, ada yang menulis lirik lagu tentang sawah dan hujan.

Salah satu kegiatan favoritku adalah “Bacaan di Beranda”—saat beberapa orang tua duduk di beranda sambil meminjam buku memasak, anak-anak duduk di lantai sambil membuat boneka kertas. Kita juga sering mengundang petani lokal untuk berbagi pengalaman dan membawa buku manual pertanian sebagai bahan bacaan. Efeknya nyata: beberapa keluarga mulai menerapkan teknik bertanam baru setelah membaca dan berdiskusi, dan satu bocah yang selalu nggak suka matematika akhirnya bisa menghafal perkalian karena permainan hitung yang kami gunakan. Reaksi lucu yang selalu kutunggu adalah saat seorang bapak tua yang tadinya manggut-manggut tiba-tiba berkata, “Wah, aku baru tahu ada bab tentang pengendalian hama yang pakai cara alami,” sambil menepuk lutut karena senang.

Mengapa koleksi ini terasa seperti ‘rahasia’ ramai yang tak diumumkan?

Karena perpustakaan kampung ini menjalankan dua peran sekaligus: penyimpan bacaan dan pemantik percakapan. Bukan rahasia dalam arti tersembunyi, tapi lebih ke “rahasia yang menyebar lewat bisik-bisik”: tetangga bilang ke tetangga, guru bercerita pada wali murid, dan lambat laun kampung jadi ramai kegiatan. Kami menaruh poster kecil di warung, anak-anak mempromosikan lewat grup WhatsApp kampung, dan seorang pemuda pernah membawa sepeda dengan rak penuh buku untuk membagikan mini-buku gratis ke rumah-rumah.

Satu momen yang masih membuatku tersipu: ketika satu anak TK masuk kelas adik-adik membaca sambil menaruh topi jerami sebagai tanda dia “pustakawan kecil” hari itu. Semua orang ikut tertawa. Itu bukan sekadar tentang koleksi buku; itu tentang bagaimana buku bisa jadi jembatan—membawa informasi, empati, dan kadang makanan untuk dibicarakan saat kopi sore.

Aku pikir rahasia terpentingnya adalah konsistensi: rak tetap diisi, pintu selalu terbuka, dan selalu ada orang yang bersedia duduk mendengar cerita kamu. Kalau ingin lihat contoh program yang lebih terstruktur, pernah juga aku membaca beberapa ide bagus di dpalibrary yang kemudian kita adaptasi sederhana sesuai kondisi kampung. Intinya, perpustakaan kampung bukan hanya soal jumlah buku, tapi soal bagaimana buku-buku itu dipakai—untuk mengajar, untuk berbagi, untuk membuat tawa dan harapan tumbuh di antara rumah-rumah kecil kami.

Leave a Comment