Ada kalanya aku merasa perpustakaan itu bukan sekadar gedung dengan rak-rak buku yang rapi. Bagi aku, perpustakaan adalah teman lama yang diam-diam menyimpan cerita, tawa, dan kadang air mata. Di tengah kebisingan kota, masuk ke ruang koleksi seperti menyelam ke tempat yang tenang — bau kertas tua, sinar lampu yang hangat, dan suara langkah yang sengaja pelan seperti hormat kepada kata-kata yang tertata rapi. Artikel ini lebih ke curhat: rahasia koleksi perpustakaan dan bagaimana edukasi komunitas serta kegiatan literasi membuat tempat itu hidup.
Kenapa koleksi itu terasa seperti harta karun?
Aku ingat pertama kali menemukan buku tua dengan sampul yang sobek di rak pojok. Tanganku bergetar kecil saat membuka halamannya; ada catatan tangan di margin, seperti bisik-bisik dari pembaca sebelumnya. Koleksi perpustakaan bukan sekadar judul dan pengarang — ia menyimpan jejak manusia. Ada buku anak bergambar yang selalu bikin aku tersenyum tiap kali melihatnya, ada juga kamus bahasa daerah yang hampir terlupakan namun penuh kekayaan kata. Pengurutan dan katalog itu penting, tentu, tapi sedikit kecerobohan membuat “penemuan” jadi momen magis.
Rahasia lainnya adalah keberagaman koleksi. Perpustakaan yang baik tidak hanya memajang buku-buku akademis. Mereka punya komik, novel ringan, majalah, bahkan koleksi audio dan bahan ilmiah populer. Ini yang membuat berbagai kalangan merasa diterima: pelajar, ibu-ibu yang lagi nunggu anak pulang les, kakek yang lagi ngopi sambil baca koran. Ketika koleksi mencerminkan komunitasnya, perpustakaan menjadi rumah bersama.
Edukasi komunitas: belajar bisa dari mana saja
Kebanyakan orang menganggap edukasi itu di sekolah. Padahal perpustakaan bisa jadi lembaga pendidikan nonformal yang ampuh. Aku pernah ikut workshop penulisan cerpen yang diadakan oleh pustakawan—lucu, karena aku datang cuma untuk minum teh gratis, tapi pulang bawa draf cerita. Edukasi komunitas di perpustakaan seringkali berupa kelas literasi dasar, pelatihan digital, atau diskusi buku mingguan. Yang menarik, metode belajarnya santai: ada yang sambil menjahit, ada yang sambil membuat kopi, sehingga suasana lebih cair.
Semangatnya bukan menggurui, melainkan mengajak. Pustakawan jadi fasilitator yang kadang lebih mirip teman curhat. Mereka tahu kapan harus memberi tugas baca dan kapan harus menyalakan playlist jazz pelan-pelan supaya suasana rileks. Inilah kunci edukasi komunitas: aksesibilitas dan relevansi. Materi disesuaikan dengan kebutuhan setempat—kalau di daerah pesisir, mungkin ada program baca tentang kelautan; kalau di kawasan padat penduduk, mungkin ada kursus literasi finansial sederhana.
Kalau mau lihat contoh nyata, ada banyak inisiatif yang terbuka untuk umum, termasuk perpustakaan digital dan sumber daya yang bisa diakses dari rumah. Untuk yang penasaran ingin lihat lebih jauh, aku sering mampir ke dpalibrary untuk referensi dan ide-ide kegiatan.
Kegiatan literasi yang bikin nyengir (dan kadang mewek)
Salah satu favoritku adalah “Bacaan Malam Minggu” untuk anak-anak. Bayangkan sekelompok bocah berkerudung kecil, duduk melingkar dengan senter mainan, mendengarkan cerita hantu versi lucu dari pustakawan. Ada tawa yang pecah, ada yang pura-pura takut sampai tertawa lagi. Ada juga program “Kisah Nenek” di mana orang lanjut usia bercerita tentang masa muda mereka—ruang itu tiba-tiba penuh emosi. Aku berkali-kali menahan air mata karena cerita sederhana tentang cinta pertama atau perjuangan hidup membuat semua orang terdiam dan kemudian tepuk tangan hangat.
Di sisi lain, ada kegiatan literasi untuk remaja yang kadang berakhir dengan debat seru soal karakter fiksi favorit. Aku selalu ikut-ikutan karena suka lihat bagaimana buku bisa jadi alat untuk berargumentasi sehat. Kadang ada juga kegiatan kreatif seperti membuat buku zine, teater kecil, atau pertukaran resep keluarga yang ditulis tangan—semua ini membuat perpustakaan terasa seperti pasar ide yang penuh warna.
Mulai dari mana kalau mau terlibat?
Kalau kamu belum pernah menginjakan kaki ke perpustakaan selain untuk meminjam buku pelajaran, coba datang lagi dengan niat berbeda: ikut satu kegiatan, ngobrol dengan pustakawan, atau hanya duduk dan mencatat ide. Keterlibatan kecil—seperti menjadi sukarelawan satu hari dalam sebulan—bisa membuka jaringan baru dan memunculkan rasa kepemilikan terhadap koleksi dan program yang ada. Jangan malu membawa cemilan kecil ya, tapi jangan juga membuat rak jadi taman sisa makanan—pustakawan punya radar tajam untuk hal-hal lucu macam itu.
Aku percaya, perpustakaan yang hidup adalah perpustakaan yang dibentuk oleh komunitasnya. Koleksi yang beragam, edukasi yang inklusif, dan kegiatan literasi yang hangat akan membuat tempat itu selalu punya wajah baru setiap hari. Kalau suatu saat kamu mampir, kamu mungkin akan menemukan buku yang mengubah sudut pandangmu, atau sekadar teman ngobrol yang ternyata punya selera kopi sama-sama aneh. Itu yang selalu bikin aku kembali.