Dari Rak ke Ruang Baca: Kisah Literasi yang Menggerakkan Komunitas

Dari Rak ke Ruang Baca: Kisah Literasi yang Menggerakkan Komunitas

Aku ingat pertama kali menjejakkan kaki ke perpustakaan kecil di kampung. Rak-rak yang dulu terlihat angker — penuh buku tebal, bau kertas jadul, dan penjaga yang disiplin kayak guru TK — kini berubah jadi tempat ngumpul yang hangat. Cerita ini bukan cuma tentang buku; ini tentang bagaimana koleksi perpustakaan bisa jadi pemantik, dan bagaimana edukasi komunitas serta kegiatan literasi mengubah cara kita melihat ruang bersama.

Rak itu bukan cuma pajangan, bro

Awalnya aku kira tugas rak cuma menunggu buku dibaca. Ternyata salah besar. Koleksi yang dipilih dengan hati, dari novel lokal sampai buku praktis tentang keterampilan hidup, ngaruh banget. Ada satu rak khusus yang dinamai “Buku Hidup”—isiannya pengalaman orang-orang lokal: petani yang nulis tips bercocok tanam, ibu rumah tangga yang berbagi resep, hingga cerita kecil anak-anak sekolah. Keberagaman ini bikin orang dari segala usia datang, bukan cuma pelajar yang butuh PR.

Saat komunitas mulai ikutan milih buku yang dianggap penting, koleksi jadi relevan. Buku berganti, diskusi muncul, dan rak yang dulu statis jadi sumber ide. Aku sering duduk di pojok baca sambil ngopi, dengerin obrolan tentang novel terbaru versus buku sejarah lokal. Kadang ada yang protes, “Kenapa ada buku horor di perpustakaan anak?” Jawabanku sederhana: karena bacaan juga soal pilihan—dan anak-anak butuh tahu beda fiksi dan kenyataan. Santai aja, ga usah ribut.

Workshop, story time, dan kadang teater mini

Kegiatan literasi itu macam-macam. Kami pernah bikin workshop menulis untuk ibu-ibu PKK; awalnya mereka malu-malu, sekarang ada yang nulis blog dan dapat undangan naskah cerpen. Ada juga sesi story time yang awalnya cuma buat anak TK, tapi malah jadi favorit bapak-bapak yang pulang kerja. Pernah juga komunitas teater lokal pakai ruang baca buat latihan, dan tetiba rak-rak jadi latar panggung—kocak memang, tapi efeknya luar biasa: orang yang nggak biasanya datang ke perpustakaan jadi penasaran dan mampir.

Selain acara, ada program ‘Pustaka Keliling’ yang kami jalankan tiap akhir pekan. Sederhana: satu van, buku-buku pilihan, dan beberapa relawan. Kami singgah di lapangan, pasar, dan perumahan. Reaksinya? Anaknya langsung ngeces lihat buku gambar; orang dewasa tertarik sama buku tips usaha rumahan; ada juga yang cuma numpang baca koran sambil minum es teh. Yang paling mengharukan: seorang lansia yang bilang, “Dulu aku sekolah sampai kelas dua. Sekarang aku bisa baca surat cucuku di WhatsApp.” Ya ampun, meleleh.

Ketika edukasi komunitas jadi gaya hidup

Edukasi komunitas di sini nggak formal. Kita bikin program belajar bareng: baca bahasa Inggris dasar, kelas komputer singkat, hingga pelatihan membuat CV. Yang asik, semua ini gratis atau bayar seikhlasnya. Konsepnya simple: ruang perpustakaan sebagai ruang belajar non-judgmental. Orang datang bukan karena harus, tapi karena mau. Ada yang datang cuma karena pengin suasana tenang buat ngerjain tugas, ada juga yang serius ikut setiap sesi sampai dapat sertifikat (yak, kita juga minderan dikit kalau ada yang pamer sertifikat baru).

Kita juga ngajak sekolah-sekolah tetangga buat program literasi terintegrasi. Guru bawa murid, murid bawa rasa ingin tahu, dan kami bawa buku plus ide kegiatan. Dari sini muncul komunitas pembaca cilik yang antusias, yang kemudian menular ke orang tua. Ibu-ibu yang awalnya ogah baca, sekarang sibuk cari buku tentang parenting modern. Ya begitulah, literasi itu menular—dalam artian baik, bukan kayak flu.

Garis kecil: dukungan, relawan, dan kopi panas

Semua ini jalan karena ada orang-orang yang peduli. Relawan yang mau duduk seharian bantu pinjam-kembali, donatur yang rajin nyumbang buku, sampai tukang kopi keliling yang rela parkir depan perpustakaan karena tahu banyak pengunjung suka nongkrong. Ada juga digital corner sederhana yang kami kerjakan bareng dpalibrary untuk akses koleksi digital—penting banget di era sekarang.

Sebenarnya, inti dari semua kegiatan ini sederhana: buku bikin kita ngobrol. Dari rak kita mulai cerita, dari cerita kita belajar, dan dari belajar kita bergerak bareng. Ruang baca jadi ruang hidup, bukan ruang hening yang ngeri. Jadi kalau suatu hari kamu lewat perpustakaan dan dengar tawa, diskusi panas tentang karakter favorit, atau drama kecil anak-anak, masuk aja. Duduk, baca, dan mungkin bawa satu buku pulang. Percayalah, dari hal kecil itu, komunitas bisa berubah—lumayan kan, jadi pahlawan literasi tanpa cape.